Skip to main content

Shalat Jum'at di Sekolah (Tinjauan Fiqih Madzahib)



Oleh Hidayat (MTs Nurul Iman Sindangkerta)

Pendahuluan

Shalat jum’at termasuk ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim mukallaf. Dengan kata lain hukum shalat jum’at adalah fardhu ‘ain[1]. Orang muslim yang mengingkari shalat jum’at dihukumi kafir berdasarkan dalil yang qath’i. shalat jum’at merupakan sebuah kewajiban tersendiri yang terpisah bukan merupakan pengganti shalat dhuhur[2].

Para ulama sepakat mengenai wajibnya shalat jum’at ini. Dalil atau alasan yang menegaskan bahwa shalat jum’at merupakan kewajiban tersendiri bukan shalat dhuhur yang diringkas. Meskipun dalam waktu pelaksanaannya bertepatan dengan waktu dhuhur, karena shalat dhuhur tidak bisa menggantikan shalat jum’at bagi mereka yang wajib melaksanakannya[3].

Shalat Jum’at merupakan salah satu ibadah yang telah ditetapkan kewajibannya oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beriman melalui sebuah firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Jumu’ah ayat 9[4]. Kewajiban tersebut kemudian dijabarkan oleh Rasulullah SAW tertuju kepada selain para budak, kaum perempuan, anak-anak yang belum baligh, orang yang sedang sakit dan dipandang sebagai uzur, serta orang yang sedang dalam bepergian dengan jarak yang telah memenuhi radius rukhshah (boleh tidak jum’atan diganti shalat zhuhur).

Terkait dengan pelaksanaan shalat jum’at di sekolah atau lembaga pendidikan, pihak lembaga diharuskan memperhatikan prosedur ketentuan fiqih yang berlaku. Hal ini perlu dipertimbangkan agar pelaksanaan ibadah shalat jum’at tersebut sah. Demikian pula, dalam mengikuti pendapat para ulama madzhab (taqlid) tidak bisa dilakukan secara serampangan. Dalam hal ini, para ulama telah memberikan rambu-rambu yang sangat jelas, agar menjadi pedoman bagi umat. Sehingga tidak terjebak pada perilaku talfiq[5] yang tidak diperbolehkan dalam beragama. 


  1. Shalat jum’at di sekolah

Sebelum membahas tentang hukum pelaksanaan shalat jum’at di sekolah. Terlebih dahulu akan dibahas tentang prosedur dan ketentuan shalat jum’at dalam pandangan para ulama madzhahib[6]. Sehingga akan ditemukan istilah-istilah kunci (keyword) yang akan dijadikan sebagai rujukan penentuan keabsahan dan ketidakabsahan shalat jum’at di sekolah.

Seperti ibadah-ibadah lainnya, shalat Jumat memiliki beberapa ketentuan atau syarat keabsahan yang harus dipenuhi. Sekiranya tidak terpenuhi, maka shalat Jumat dihukumi tidak sah. Di samping beberapa kesamaan sebagaimana shalat fardlu lainnya, dalam pelaksanaan shalat jum’at ada juga sejumlah kekhususan tersendiri dalam hal syarat sah, ketetapan dan tata aturan (adab) pelaksanaannya[7].

Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan syarat shalat jum’at oleh para ulama dibagi menjadi dua bagian. Pertama, ada yang disebut syarat wajib jum’at, dan kedua, syarat sah jum’at.  Menurut ulama Hanafiyah, syarat wajib jum’at antara lain: pertama, laki-laki, tidak wajib bagi perempuan, namun jika perempuan menghadiri dan melaksanakan shalat jum’at dihukumi sah dan tidak dianjurkan melaksankan shalat dhuhur, kedua; merdeka bukan hamba sahaya, namun jika hamba sahaya tersebut menghadiri dan melaksanakan shalat jum’at tetap sah, ketiga; sehat, tidak wajib bagi orang yang sakit sekiranya akan mengancam kesehatannya jika berangkat menghadiri shalat jum’at, meskipun seandainya ada yang mengantar atau mendampinginya melaksanakan shalat jum’at dihukumi sah. Keempat; bertempat tinggal di tempat pelaksaanaan jum’at atau tempat tinggalnya masih menjadi bagian yang memiliki keterhubungan (muttashil) dengan tempat pelaksanaan jum’at. Kelima, berakal sehingga tidak wajib bagi orang yang gila atau yang sejenisnya, keenam baligh, tidak wajib bagi bagi anak-anak yang belum baligh[8].

Sedangkan syarat sah shalat jum’at menurut ulama Hanafiyah antara lain; pertama, kawasan tempat pelaksanaan shalat jum’at tersebut adalah mishr atau kota besar[9]. Maka tidak wajib jum’at bagi orang yang tinggal di balad apalagi qaryahQaryahbalad dan mishr merupakan tiga istilah yang tidak bisa dilepaskan dalam fiqh shalat Jumat. Ketiganya adalah istilah untuk kawasan pelaksanaan Jumat dengan ciri dan ketentuan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Qaryah adalah kawasan pemukiman warga yang tidak ada fasilitas kepolisian, kehakiman dan pasar di dalamnya. Sedangkan mishr adalah tempat pemukiman warga yang lengkap dengan tiga fasilitas tersebut, kepolisian, kehakiman dan pasar. Sementara balad adalah daerah yang absen dari salah satu tiga fasilitas tersebut. Kedua, ada izin dari penguasa atau lembaga yang berwenang[10].

Pentingnya adanya izin dari penguasa adalah untuk menghindari perselisihan dalam pelaksanaan shalat jum’at di suatu tempat. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menegaskan dalam hal ini bahwa dalam madzhab Hanafi mensyaratkan dua syarat ini, yaitu pertama, izin penguasa, atau penggantinya atau orang yang diberi izin untuk mendirikan shalat jum’at seperti departemen wakaf sekarang harus menjadi Imam dan khatib jum’at, sebab jum’at didirikan oleh kelompok besar, terkadang terjadi perselisihan dalam urusan jum’at, maka wajib terpenuhi syarat ini, untuk menyempurnakan pelaksanaannya dan mencegah berebut majunya siapapun, kedua, izin umum, yaitu pintu-pintu masjid dibuka dan pemerintah mengizinkan manusia untuk memasukinya secara dengan sekira orang yang mengesahkan jum’at tidak dicegah untuk memasuki pelaksanaan shalat jum’at[11]. Dalam konteks Indonesia penguasa ini adalah presiden dan lembaga yang menjadi perpanjangan tangan presiden yang mengurusi bidang keagamaan seperti KUA atas rekomendasi dari lembaga-lemabaga terkait seperti MUI.

Dalam Madzhab Malikiyah, syarat wajib jum’at sebagaimana syarat wajib yang disampaikan dalam Madzhab Hanafiyah sebelumnya, dengan tambahan; pertama, laki-laki, tidak wajib bagi perempuan, meskipun jika perempuan melaksanakan shalat jum’at secara berjama’ah tetap sah dan mencukupi dari shalat dhuhur. Kedua, merdeka, tidak wajib bagi hamba sahaya, namun tetap sah jika menghadiri dan melaksanakan shalat jum’at, ketiga tidak ada udzur (halangan syar’i) yang membolehkan meninggalkan shalat jum’at, sehingga orang yang sakit yang tidak memungkinkan berangkat ke tempat shalat jum’at dengan naik kendaraan atau digendong diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at dan melaksanakan shalat dhuhur. Keempat, orang yang bisa melihat, tidak wajib bagi orang buta jika sulit berangkat sendiri. Kelima, bukan kakek-kakek yang sulit untuk menghadirinya, keenam, bukan musim panas dan dingin ekstrim, ketujuh, aman dari segala gangguan kejahatan, kedelapan, aman dari segala gangguan terhadap harta benda (property), kehormatan dan jiwanya, kesembilan, bertempat tinggal (isthithan) di balad tempat pelaksanaan jum’at, kesembilan, di daerah kawasan penduduk[12]. 

Sedangkan syarat sah jum’at menurut Malikiyah adalah pertama, menetapnya (istithan) masyarakat secara permanen (daiman) di suatu balad. Mereka tinggal dalam suatu balad yang aman dari segala gangguan yang terjadi. Di samping sebagai syarat sah jum’at, menetap (istithan) di suatu balad juga menjadi syarat wajibnya jum’at. Kedua, hadirnya dua belas orang jama’ah selain imam, meskipun tidak semua penduduk balad hadir, jika telah memenuhi batasan minimal tersebut maka sah jum’atnya. Ketiga, imam adalah orang yang berdiam di tempat tersebut atau musafir yang hendak menetap selama empat hari. Imam tersebut sekaligus bertindak sebagai khatib, apabila imam dan khatib orang yang berbeda, maka hukum shalat jum’atnya tidak sah. Keempat, shalat jum’at tersebut di laksanakan di masjid, bukan di rumah atau di tanah terbuka. Masjid tersebut berada di balad atau dekat dengan balad yang berdekatan dengan kawasan pemukiman penduduk. Pelaksanaan shalat jum’at itu hanya di satu masjid, sehingga apabila ada beberapa masjid di suatu balad, maka yang dianggap sah adalah masjid jami’ yang lama[13].

Syarat wajib jum’at dalam madzhab syafi’i antara lain; islam, baligh dan berakal kemudian merdeka, laki-laki, sehat jasmani dan terakhir bermukim, sehingga tidak wajib jum’at bagi orang yang sedang bepergian meski jarak tempuhnya tidak sampai batas jarak diperbolehkan mengqasar shalat. Namun gugurnya kewajiban jum’at bagi musafir dengan catatan perjalanannya dengan tujuan mubah dan dilakukan sebelum terbit fajar. Apabila perjalanannya dengan tujuan maksiat atau di tempuh setelah shubuh, maka wajib bagi musafir menjalankan jum’at di tengah perjalananya[14].

Adapun syarat sah shalat jum’at menurut syafi’iyah ada enam. Pertama, shalat Jumat dan kedua kutbahnya dilakukan di waktu zhuhur[15]. Maka tidak sah melakukan shalat Jumat atau khutbahnya di luar waktu zhuhur. Bila waktu Ashar telah tiba dan jamaah belum bertakbiratul ihram, maka mereka wajib bertakbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila di tengah-tengah melakukan shalat Jumat, waktu zhuhur habis, maka wajib menyempurnakan Jumat menjadi zhuhur tanpa perlu memperbaharui niat[16]. Kedua, dilaksanakan di area pemukiman warga. Shalat Jumat wajib dilakukan di tempat pemukiman warga, sekiranya tidak diperbolehkan melakukan rukhsah shalat jama’ qashar di dalamnya bagi musafir. Tempat pelaksanaan Jumat tidak disyaratkan berupa bangunan, atau masjid. Boleh dilakukan di lapangan dengan catatan masih dalam batas pemukiman warga[17].

 Ketiga, rakaat pertama Jumat harus dilaksanakan secara berjamaah. Minimal pelaksanaan jamaah shalat Jumat adalah dalam rakaat pertama, sehingga apabila dalam rakaat kedua jamaah Jumat niat mufaraqah (berpisah dari Imam) dan menyempurnakan Jumatnya sendiri-sendiri, maka shalat Jumat dinyatakan sah.   Keempat, jamaah shalat Jumat adalah orang-orang yang wajib menjalankan Jumat.   Jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat adalah penduduk yang bermukim di daerah tempat pelaksanaan Jumat. Sementara jumlah standar jamaah Jumat adalah 40 orang menghitung Imam menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i. Tidak termasuk jamaah yang mengesahkan Jumat yaitu orang yang tidak bermukim di daerah pelaksanaan Jumat, musafir dan perempuan, meskipun mereka sah melakukan Jumat[18].   Kelima, tidak didahului atau berbarengan dengan Jumat lain dalam satu desa   Dalam satu daerah, shalat Jumat hanya boleh dilakukan satu kali. Oleh karenanya, bila terdapat dua Jumatan dalam satu desa, maka yang sah adalah Jumatan yang pertama kali melakukan takbiratul ihram, sedangkan Jumatan kedua tidak sah. Dan apabila takbiratul ihramnya bersamaan, maka kedua Jumatan tersebut tidak sah.   Hal ini bila tidak ada kebutuhan yang menuntut untuk dilaksanakan dua kali. Bila terdapat hajat, seperti kedua tempat pelaksanaan terlampau jauh, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat dalam satu tempat karena kapasitas tempat tidak memadai, ketegangan antar kelompok dan lain sebagainya, maka kedua Jumatan tersebut sah, baik yang pertama maupun yang terakhir[19]. Keenam, didahului kedua khutbah. Sebelum shalat Jumat dilakukan, terlebih dahulu harus dilaksanakan dua khutbah.

Sedangkan syarat sah shalat jum’at menurut Hanabilah ada empat. Pertama, masuk waktu, maka tidak sah jika dilaksanakan sebelum atau setelah melewati waktu. Kedua, orang melaksanakan shalat jum’at adalah penduduk yang menetap di suatu qaryahbalad atau mishr sebagaimana ketentuan dalam syarat sah jum’at. Ketiga,  dihadiri oleh empat puluh orang beserta imam, meskipun sebagiannya orang bisu, namun jika bisu semuanya maka tidak sah. Keempat, adanya dua khutbah dengan syarat dan ketentuan hukum yang berlaku.

Berpijak pada pemaparan di atas ada beberapa istilah kunci yang patut menjadi perhatian kaum muslimin dalam melaksanakan shalat jum’at. Pertama, mengenai jumlah jama’ah tidak boleh kurang dari empat puluh orang (menurut pendapat yang mu’tamad). Keempat puluh orang tersebut merupakan penduduk setempat (muqim dan mustauthin) yang berada di sekitar masjid tempat pelaksanaan shalat jumat. Kedua, berkaitan dengan masjid tempat pelaksanaan shalat harus masuk dalam kategori mishr, balad atau qaryah. Ketiga, mesti ada keterlibatan pihak-pihak yang memiliki otoritas dalam memberikan izin pelaksanaan shalat jum’at sebagaimana ketentuan dalam Madzhab Hanafi. Sehingga tidak terjadi banyaknya shalat jum’at (ta’addudul jumu’ah) di satu tempat yang menyalahi ketentuan syari’at. Karena tujuan didirikannya shalat jum’at adalah berkumpulnya manusia dalam satu tempat dengan penuh kekhusyu’an menghadap Allah SWT, sehingga terjalin hubungan yang kuat dan harmonis, saling mengasihi, saling mengayomi. Tidak ada rasa kebencian dan permusuhan. Terbina persaudaraan, solidaritas antara orang kaya dengan orang miskin, antara penguasa dan rakyatnya. Semua orang yang melaksanakan shalat jum’at di tempat itu merasa sebagai hamba Allah, hanya Allah yang maha kaya, pemilik kekuasaan yang sesungguhnya, pemilik keagungan yang tiada batasnya[20].

Alhasil, pelaksanaan shalat jum’at di sekolah tidak sah karena dari aspek tempat tidak termasuk dalam kategori mishrbalad atau qaryah. Para siswa di suatu sekolah biasanya berasal dari tempat yang berbeda-beda, bukan hanya penduduk sekitar sekolah. Oleh karena itu, sekiranya pihak sekolah hendak memaksakan shalat jum’at maka harus melibatkan setidaknya empat puluh penduduk sekitar menurut qaul yang mu’tamad. Dan jika berpedoman pada pandangan Imam Hanafi maka harus bertaqlid secara menyeluruh (komprehensif) bukan hanya dalam aspek jum’atannya saja melainkan meliputi tatacara wudhu, syarat sah dan syarat wajib jum’at[21]. Termasuk prosedur adanya izin dari penguasa dan lembaga keagamaan yang memiliki wewenang mengenai masalah tersebut.  

  1. Kesimpulan dan penutup

Demikianlah pemaparan tentang ketentuan shalat jum’at dalam pandangan ulama madzhahib dan hukum shalat jum’at di sekolah. Semoga dapat menjadi bahan pertimbangan para pihak yang berkepentingan.


[1]و(إنما تتعين) أي تجب وجوب عين لصحتها (على كل) مسلم (مكلف) أي بالغ عاقل (حر ذكر مقيم بلا مرض ونحوه) كخوف وعري وجوع وعطش, فلا جمعة على صبي ولا على مجنون كغيرها من الصلوات. وهذا علم من قوله : " إنما تجب الصلاة على كل مكلف إلخ" (شمس الدين محمد بن محمد الخطيب الشربيني, مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج, دار الكتب الاسلامية, لبنان, ط. ٤٢٠١٤, ص. ٣٨١)

[2] صلاة الجمعة فرض عين يكفر جاحدها لثبوتها يالدليل القطعي, وهي فرض مستقل ليست بدلا عن الظهر (الدكتور وهبة الزهيلي, الفقه الاسلامي وأدلته, دمشق, دار الفكر ج. ٢ص. ٢٥٩)

[3]  الجديد أن الجمعة ليست ظهرا مقصورا وإن كان وقتها وقته وتدرك به, بل صلاة مستقلة, لانه لا يغني عنها, ولقول عمر- رضي الله عنه –" الجمعة ركعتان تمام غير قصر على لسان نبيكم صلى الله عليه وسلم وقد خاب من افترى" رواه الامام أحمد وغيره, وقال فى المجموع إنه حسن, والقديم أنها ظهر مقصورة, ومعلوم أنها ركعتان, وهي كغيرها من الخمس فى الأركان والشروط والآداب, وتختص بشروط لصحتها وشروط للزومها وبآداب. (شمس الدين محمد بن محمد الخطيب الشربيني, مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج, دار الكتب الاسلامية, لبنان, ط. ٤٢٠١٤, ص. ٤١٤)

[4]  يا أيها الذين آمنوا إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع (سورة الجمعة أية ٩)

[5] Taqlid ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilannya, Sedangkan talfiq adalah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil dari mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun berbeda. Sebagai contoh mengambil pendapat dari dua orang mujtahid dalam masalah yang sama seperti seseorang mengerjakan sembahyang dengan membaca basmalah sewaktu membaca surat Al-Fatihah karena mengambil pendapat dari Imam Syafi’i. kemudian pada saat yang lain tidak membaca basmalah karena mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah. Lihat Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Penerbit PT. Al-Ma’arif Bandung, Cet-3, 1993, hal. 409.

[6] Kata madhahib merupakan bentuk plural dari kata madzhab. Kata madzhab secara bahasa adalah isim makan (kata benda yang menunjukan tempat) yang memiliki arti tempat berangkat kemudian digunakan untuk istilah pandangan-pandangan hukum yang disampaikan para Imam. Dalam istilah paramasastra (baca: ilmu balaghah), model pengalihan makna seperti itu dinamakan majaz isti’arah tashrihiyah tabaiyah atau gaya bahasa majaz metafora. Lihat Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri, Hasyiyah Al-Bajuri, Libanon, Darul Minhaj, Cet-1, 2016, hal. 146.

[7]  يشترط لصلاة الجمعة شروط الصلاة عامة, ولكن لها شروط خاصة فى وجوبها وفى صحتها ( الأستاذ الدكتور محمد الزحيلي, المعتمد فى الفقه الشافعي, دار القلم, دمشق, ج ١, ص ٤٩٤, ط. ٣٢٠١١,)

[8] Syaikh Abdurrahman Al-Jazairi, Al-Fiqhu ‘Alal Madzhabil Arba’ati, Beirut, Libanon, Cet-1, 2014, hal. 325. Lihat pada bagian pembahasan syarat jum’at;

فشروط وجوبها عندهم ستة, أحدها : الذكورة فلا تجب على الأنثى...........إلى.. فلا تجب على الصبي الذي لم يبلغ.

[9] Syaikh Abdurrahman Al-Jazairi, Al-Fiqhu ‘Alal Madzhabil Arba’ati, Beirut, Libanon, Cet-1, 2014, hal. 326-327. Sedangkan penjelasan tentang perbedaan ketiga istilah kawasan pelaksanaan shalat jum’at tersebut, lihat Syekh Sulaiman al-Bujairimi:” أن المصر ما كان فيها حاكم شرعي وشرطي وسوق والبلد ما خلت عن بعض ذلك والقرية ما خلت عن الجميع “artinya; Mishr adalah tempat yang di dalamnya terdapat departemen kehakiman, kepolisian dan pasar. Balad adalah tempat yang sunyi dari salah satu tiga hal tersebut. Sementara qaryah adalah tempat yang sunyi dari ketiganya.” (Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyah a-Bujairimi ‘ala al-Manhaj, juz 1, hal. 350), atau lihat penjelasan Sayid Abu Bakar Syatha, I’anatutthalibin, Syarikat An-Nur Asia, tt, Juz 2, hal. 59.

 

 

[10] ثانيها: إذن السلطان أو نائبه الذي ولاه إمارة (عبد الرحمن الجزيري, الفقه على المذاهب الأربعة, بيروت لبنان, دار الفكر, ط ١, ص. ٣٢٧)

[11] اشترط الحنفية هذين الشرطين: الأول- أن يكون السلطان ولو متغلبا أو نائبه, أو من يأذن له بإقامة الجمعة كوزارة الأوقاف الآن هو إمام المجمعة وخطيبها : لأنها تقام بجمع عظيم, وقد تقع منازعة فى شؤن الجمعة, فلا بد منه تتميما لأمره ومنعا تقدم أحد (الدكتور وهبة الزهيلي, الفقه الإسلامي وأدلته, بيروت لبنان, دار الفكر, ط. ٣١٩٨٩, ص. ٢٧٧)

[12] Syaikh Abdurrahman Al-Jazairi, Al-Fiqhu ‘Alal Madzhabil Arba’ati, Beirut, Libanon, Cet-1, 2014, hal. 327-328.

[13] Syaikh Abdurrahman Al-Jazairi, Al-Fiqhu ‘Alal Madzhabil Arba’ati, Beirut, Libanon, Cet-1, 2014, hal. 328

[14] Syeikh Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal. 207-208, Darul Minhaj Jedah, cetakan ke-3, 2011. Lihat juga Syeikh Abdul Hamid Asy_Syarwani, Hasyiyah As-y-Syarwani ala tuhfatul muhtaj, Juz 2, hal. 443, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama tahun 1997  

[15] Hal ini berdasarkan hadits:

أن النبي كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس (رواه البخاري عن أنس)

“Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat jum’at saat matahari condong ke barat (waktu dhuhur)” (HR. Bukhari dari Anas)

[16]Syeikh Habib Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri mengatakan; apabila waktu zhuhur menyempit, maka wajib melakukan takbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila waktu zhuhur keluar sementara jamaah berada di dalam ritual shalat Jumat, maka mereka wajib menyempurnakannya menjadi shalat zhuhur tanpa mengulangi niat”. Lihat  Syeikh Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal. 236, Darul Minhaj Jedah, cetakan ke-3, 2011

[17] ولا يشترط أن يعقد الجمعة فى ركن أو مسجد بل يجوز فى الصحراء إذا كان معدودا من خطة البلد فإن بعد عن البلد بحيث يترخص المسافر إذا انتهى إليه لم تنعقد الجمعة فيها (الغزالي, الوسيط, القاهرة, دار السلام, ط. ٣, ج. ٢٠١٢, ص. ٢٦٣  )

“Jumat tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, sekira musafir dapat mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut”

[18] Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’thiyah Al-Duani, Ghayatul Muna Syarhu Safinatinnaja, Hadhramaut, Tarim, Darul Fath, Cet-1, 2008, hal. 446-448

[19] Syeikh Syamsudin Muhammad bin Ahmad Al-Khatib Asy-Syarbaini, Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati ma’ani al-fazhil Minhaj, Beirut Libanon, Darul Kutub Al-Islamiyah, Cet-4, 2014, hal. 386-387

[20] الغرض من صلاة الجمعة هو أن يجتمع الناس في مكان واحد خاشعين لربهم, فتتوثق بينهم روابط الألفة, وتقوي صلاة المحبة, وتحيا في أنفسهم عاطفة الرحمة والرفق, وتموت عوامل البغضاء والحقد, وكل منهم ينظر إلى الآخر نظرة المودة والإخاء, فيعين قويهم ضعيفهم, ويساعد غنيهم فقيرهم ويرحم كبيرهم صغيرهم, ويوقر صغيرهم كبيرهم, ويشعرون جميعا بأنهم عبيد الله وحده, وأنه هو الغني الحميد, ذو السلطان القاهر, والعظمة التي لا حد  لها (عبد الرحمن الجزيري, الفقه على المذاهب الأربعة, بيروت لبنان, دار الفكر, ط ١, ص. ٣٣١)

 

[21] Ketentuan dan prosedur dalam bertaqlid, untuk lebih jelasnya lihat nukilan Sayyid Abu Bakar Syatha, Hasyiyah I’anatutthalibin, Syarikat Asia, Juz. 1, tt, hal. 17.

Comments